Rabu, 20 November 2013

renungan

Pada suatu hari, di suatu kekhalifahan yang dipimpin oleh seorang bangsawan bernama Al Fulan diadakan pertemuan para pemuka agama. Pertemuan itu bertujuan untuk mengadukan salah seorang ‘gila’ yang bernama Abu Kemplu. Dia dituduh gila karena membawa ajaran yang dianggap sesat.
Singkat kata pemuka agama dari 4 mazhab telah berkumpul berjajar di kursi yang disediakan khalifah, sedangkan masyarakat duduk di karpet bersiap untuk menyaksikan persidangan tersebut. Sesaat kemudian, Abu Kemplu datang dan mengucapkan salam dari luar, serentak dijawab oleh seisi gedung. Dia masuk sambil menenteng sandal jepitnya yang kemudian dia letakkan di atas karpet lalu didudukinya. Melihat polah tingkahnya para hadirin tertawa geli. Lalu khalifah menanyakan sesuatu padanya, “ Hai Abu Kemplu, kenapa kau bertingkah seperti itu, kau duduk di bawah bersama mereka, bukankah telah kusediakan kursi di atas bersama para pemuka yang lain? ”. Dia menjawab, “Duhai baginda, sesungguhnya saya hanyalah manusia jelata yang diajarkan untuk terus belajar, dan dengan duduknya saya di sana ataupun di sini tidak membuat derajat saya dihadapan Allah akan menjadi meningkat”.
Mendengar jawaban bijak tersebut, seorang ulama dari mazhab Hanafi berkata, “Jangan dengarkan orang sesat nan gila itu duhai amirul mu’minin, lihat saja polahnya, untuk apa dia masuk membawa sandal dan mendudukinya, bukankah itu telah cukup membuktikan kalo dirinya gila dan ucapannya tidak bisa dipercaya?”. Suara tertawa kembali bergemuruh, dan Abu Kemplu malah ikut tertawa juga, sambil menggaruk kepalanya dia menjawab, ”Hahahahahaha…iya maaf, tadi saya masuk dan membawa sandal saya, sebab dulu saya pernah dengar cerita dari kakek-kakek saya, bahwa di suatu majelis yang diselenggarakan oleh Rasulullah saw, Imam Hanafi pernah mengambil sandal milik ihwan yang hadir di majelis tersebut”. Mendengar hal tersebut, ulama tersebut langsung menukasnya, “Hei, lihatlah, semakin tampak kegilaan orang ini, siapapun tahu bahwa Imam Hanafi lahir jauh-jauh hari bahkan berjarak puluhan tahun setelah Rasulullah saw wafat, bagaimana mungkin beliau hadir di sana apalagi mengambil sandal ?!”. Suara tawa kembali riuh, sambil kembali menggaruk kepala seolah-olah mengingat-ingat, Abu Kemplu lalu berseru sambil tersenyum dengan lugu, “Oh iya maaf..maksud saya Imam Maliki !?”. Jawaban tersebut langsung di tukas oleh ulama dari mazhab Maliki, “Anda jangan gila dong, jelas sekali bahwa Imam Malik tidak sezaman dengan masa Rasulullah hidup!!!”. Abu Kemplu lalu melanjutkan sambil mengingat-ingat terus, “ Oh iyaaa…yang mengambilnya Imam Syafi’i, iya saya yakin itu…!!!”. Ulama dari Mazhab Syafi’i langsung berdiri, “Dasar gila!, Imam Syafi’i belum lahir saat itu, semua juga tahu bahwa Rasulullah wafat pada tahun 10 H dan Imam Hanafi lahir tahun 90 H, apalagi jika dibandingkan dengan Imam Syafi’i, sungguh anda memang benar-benar gila!”. Sebelum Abu Kemplu menimpali, tiba-tiba ulama dari mazhab Hanbali berbicara, “Anda jangan bilang kalo yang mengambil sandal adalah Imam Hanbali, segalanya telah jelas, beliau yang termuda dari ketiga Imam sebelumnya, jadi mustahil beliau mengambil! Anda jangan mengada-ada wahai orang bodoh!”.
Melihat situasi yang demikian, khalifah bangkit dari duduknya lalu meminta penjelasan dan menyuruh agar Abu Kemplu mempertanggungjawabkan pernyataannya itu. Al Fulan berujar, “Wahai Abu Kemplu, selama ini saya cuma mendengar dari luar bahwa anda ini seorang gila, tapi sekarang saya telah yakin dan menyaksikan dengan mata kepala sendiri bahwa anda memang benar-benar tidak waras. Untuk itu mulai sekarang, hentikanlah segala aktifitas dakwahmu yang hanya membuat masyarakat bingung. Jika tidak maka kau akan ku hukum!”. Abu Kemplu pun bangkit perlahan dari duduknya, dengan suara yang tenang dan lugas dia mulai berkata, “Wahai yang saya hormati khalifah kami, wahai para pemuka agama dan seluruh yang hadir di majelis ini. Tidakkah kita bisa mendengar, melihat dan mencermati apa yang telah di sampaikan oleh para pemuka agama kita yang mulia ini. Masing-masing dari mereka menegaskan bahwa imam-imam mereka tidak satu pun yang pernah hidup sezaman dengan Rasulullah saw. Imam-imam yang di taklidi oleh mayoritas kaum muslimin ternyata tak ada satupun yang pernah melihat, mendengar, dan merasakan secara langsung apa yang telah disampaikan dan dilakukan oleh junjungan kita Rasulullah saw. Bukan hanya itu, bahkan dari masing-masing mereka telah men-justifikasi bahwa mazhab merekalah yang paling benar hingga menuduhku sebagai gila yang sesat. Wahai yang mulia, sesungguhnya apa yang hamba jalani sekarang adalah berdasarkan dari orang-orang yang bahkan pernah satu atap, satu lantai, berbagi makanan, berbagi cerita, berbagi bantal, berbagi pelukan, berbagi senyum, tawa, peluh dan air mata. Sesungguhnya hamba menjalankan syariat yang telah diajarkan oleh orang yang pernah berbagi tempat tidur dengan Rasulullah saw. Hamba menjalankan ajaran dari orang yang melaluinya Rasulullah memiliki cucu yang sangat dicintainya. Dari orang yang sekufu dengan wanita paling mulia yakni putri Rasulullah saw. Orang yang memandikan dan menguburkan jenazah Rasulullah saw, dan masih banyak lagi keutamaan-keutamaannya. Lihatlah kedekatan-kedekatan itu, jika hamba dianggap sesat dan gila karena menjalankan apa yang mereka ajarkan, maka bagaimanakah dengan mereka yang menjalankan agama ini berdasarkan dari orang-orang yang bahkan tak sezaman dengan Beliau saw.”
Salah seorang ulama bangkit lalu berteriak keras, “Anda mengada-adakan kisah yang tak semestinya!”. Lalu dijawab dengan lembut, “Sesungguhnya hamba tidak bermaksud untuk mengada-adakan cerita, dan semua itu memang hanya cerita fiksi. Saya hanya ingin kita mengkoreksi diri dan mampu mengambil hikmah atas apa yang baru saja kita bicarakan. Tidakkah kita mau belajar dan introspeksi pada diri masing-masing. Seringkali kita merasa telah berada dalam sebuah kebenaran sehingga menjatuhkan keyakinan yang berbeda, lalu menyesatkan atau menuduhnya gila. Namun, setelah dikaji dan dicermati, ternyata kita lah yang berada dalam kesesatan dan kegilaan tersebut. Tak sadar bahwa yang sedang kalian jalani hanya berdasarkan pada doktrin yang tidak pernah kita ketahui sebelumnya. Fanatisme telah membutakan mata dan menulikan telinga, sehingga hati menjadi keras dan menolak segala kebenaran yang disampaikan orang lain. Apalagi jika telah diberi bumbu demi mendapat status dan posisi dalam masyarakat. Saudaraku, dunia hanyalah tempat singgah sementara, kenapa kita tidak mau segera dan berlomba-lomba mencari kebenaran untuk kehidupan yang hakiki? Silakan saja jika masih bersikeras dengan keyakinan anda sekalian, yang pasti konsekuensi Ilahi akan tetap berjalan searah dengan tingkat pengetahuan yang kita miliki.”.
Khalifah dan masyarakat yang mendengarnya tertegun. Lalu Abu Kemplu melanjutkan, “Duhai khalifah yang adil, jika memang di mata anda dan masyarakat, saya hanyalah orang gila nan sesat, maka jatuhkanlah hukuman yang setimpal pada diriku ini. Tapi jika menurut kalian hamba tak seperti yang dituduhkan, maka janganlah engkau menghukum mereka yang telah menuduhku demikian. Sesungguhnya hukuman dijatuhkan searah dengan pengetahuan yang dimiliki seseorang, itulah keadilan.”. Tiba-tiba seluruh ruangan yang semula hening senyap berubah bergemuruh dengan riuhnya tepuk tangan. Hingga khalifah pun bangkit dari duduknya dan berkata, “Duhai manusia bijak, sesungguhnya kamilah yang buta terhadapnya, untuk itu kami akan mengganti rugi atas ketidaknyamanan yang telah anda terima. Saya sebagai pemimpin yang dipercaya masyarakat, menghendaki agar anda mengajarkan kepada kami tentang apa yang telah anda bawa itu, sesungguhnya kami buta tapi sok mampu melihat. Sudikah engkau mengajarkannya kepada kami?”. Abu Kemplu tersenyum dan menjawab dengan tenang, “Insya Allah, atas izin Allah, semoga Rasulullah dan Ahlulbait sucinya menyertai apa yang telah dan akan kita lakukan, mari kita belajar bersama.”. Meledaklah tepuk tangan dan keriuhan di dalam ruangan. Tiap orang berlomba-lomba untuk menemui Abu Kemplu menyalami dan memeluknya, di sisi yang lain tampak di atas kursi keempat ulama itu tertunduk malu di kursi ‘kebesaran’ mereka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar